Kamis, 18 April 2013

PROBLEMATIKA HUKUM PEMERINTAHAN DESA



Problematika hukum pemerintahan desa, sesungguhnya tidak terlepas dari masalah-masalah yang melekat dalam hukum otonomi daerah. Atau dengan kata lain, persoalan hukum pemerintahan desa include (inherent) di dalam problematika hukum otonomi daerah secara umum. Mengapa demikian? Karena pada saat membicarakan hukum pemerintahan daerah atau hukum otonomi daerah dalam tataran dogmatik normatif, terkait di dalamnya substansi materi hukum pemerintahan desa.

Antara hukum pemerintahan desa dengan hukum otonomi daerah senyatanya tidak dapat dipisahkan, karena dalam hukum positif pemerintahan daerah di Indonesia diatur secara bersama-sama dalam satu undang-undang dengan pemerintahan desa. Jelasnya, dapat ditelusuri pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua undang-undang ini berlaku pada era pemerintahan reformasi.

Masalah Hukum Pemerintahan Desa pada tataran konseptualisasi yuiridis dan sekaligus implementasinya (law enforcement) seakan-akan tidak diberikan perhatian serius, baik bagi para pengambil kebijaksanaan (beleid) maupun para praktisi hukum, politik dan birokrasi lainnya. Mungkin saja, karena persoalan yang melingkupi hukum pemerintahan desa kurang mendapat pressure dari masyarakat dalam skala nasional, ketimbang masalah hukum otonomi daerah an sich.

Padahal, kalau lebih diselami dan direfleksi lebih jauh, sesungguhnya permasalahan bangsa Indonesia yang akut sekarang ini banyak-banyak bersumber dari problematika pemerintahan desa. Mengapa demikian? Karena masyarakat terbesar (baik jumlah penduduk maupun luas geografis) berada di desa. Terlebih lagi apabila dikaitkan dengan kesejahteraan rakyat, jelas yang paling tidak diuntungkan (tidak berdaya) adalah masyarakat desa, seakan-akan masyarakat desa adalah masyarakat yang terpinggirkan (marginal) secara struktural. Mengapa struktural? Karena sumber "penyakit"-nya dimulai dari pengaturan hukum yang belum tuntas tentang pemerintahan desa.

Terlebih lagi bilamana persoalan desa dilihat pada perspektif pluralisme hukum, jelas sangat menunjang perkembangan hukum nasional, karena mulai dari masyarakat desa-lah diketahui berkembangnya hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Dikatakan demikian, karena "desa" dan istilah lainnya merupa¬kan lembaga pemerintahan yang tertua di nusantara. Sebagaimana pendapat Cornelis van Vollenhoven yang dipetik oleh Ateng Syafrudin, bahwa:

”Ketika sebuah kapal berbendera tiga warna masuk daerah Indonesia pada Tahun 1596, daerah itu dalam arti kata Hukum Tata Negara, tidaklah merupakan sebidang tanah kosong dan tandus tidak tergarap.”

Daerah itu penuh dan padat dengan lembaga-lembaga pengaturan masyarakat maupun pemerintah, yang dikuasai oleh atau berkekuasaan atas suku-suku bangsa, kesatuan perkampungan, republik-republik dan kerajaan¬kerajaan. Hanya sifat kesatuan sama sekali tidak ada meskipun negara Majapahit dahulu tumbuh dengan dengan kokohnya dan memegang pimpinan yang kuat, dan yang terdapat adalah justru suatu hukum tata negara Asia Timur yang jalin berjalin, dan tetap bersifat asli, walaupun penduduknya banyak terpengaruh oleh kebudayaan Hindu dan Islam.

Penggambaran van Vollenhoven ini merupakan isyarat sejarah bahwa pada saat sebelum masuknya Belanda ke Indonesia telah dikenal kesatuan perkampungan yang terstruktur seperti "negara" dan mempunyai sistem hukum yang khas dan yang akhir-akhir ini lebih populer disebut "desa".

Lebih tegas lagi, dapat dikatakan bahwa "Desa" merupakan struktur pemerintahan yang ash bagi bangsa Indonesia, sebagaimana dikatakan oleh RDH. Koesoemahatmadja bahwa:

Desa adalah bentuk asli dari masyarakat tempat tinggal bersama dari beberapa ratus sampai beberapa ribu orang yang merupakan face to face group (kalau tidak saling mengenal, mereka paling sedikit kenal mengenal muka), faktor-faktor mana mempunyai daya pengikatnya yang kokoh sehingga mereka merasa bersatu, sekeluarga/seketurunan dan sebagainya. Pada umumnya, penduduk desa masih memegang teguh adat istiadat yang merupakan "pagar masyarakat", sumber kekuatan yang mengatur penghidupan mereka di segala lapangan dan jurusan.
Memang, keaslian (originalitas) struktur masyarakat beserta pemerintahan desa sebaiknya dipertahankan da¬lam merumuskan kebijakan hukum (legal policy) tentang pemerintahan desa, karena dalam masyarakat desa masih terdapat sifat kearifan adat dan rasa kekariban (sense of fellowship) yang kental antar individu satu sama lain dalam komunitas sosialnya.

Perkembangan mutakhir tentang legal policy tentang pemerintahan desa dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang dalam Pasal 1 butir 12 dikatakan bahwa:

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ruang lingkup rumusan tentang "desa" tersebut dapat diperinci unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum.
2. Desa mempunyai batas-batas wilayah.
3. Desa berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.
4. Kewenangan desa didasarkan atas asal usul dan adat istiadat setempat.
5. Adat istiadat setempat diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mengacu pada ruang lingkup rumusan tentang desa menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 di atas, pengelolaan desa tidak bisa dilakukan secara uniformitas (diseragamkan), tetapi hams dipandang sebagai sesuatu yang plural (kebhinekaan) dan didasarkan pada paham desentralisme. Artinya, dalam upaya membangun hukum pemerintahan desa harus diperhatikan aspek kesejarahan dan asal usul mengapa desa itu ada, karena desa di Pulau Jawa dan Bali belum tentu sama . dengan desa di Pulau Kalimantan dan Sulawesi.

Sejalan dengan arah kebijakan hukum pemerintahan desa tersebut di atas, Muhammad Yamin dalam pidatonya pada Sidang BPUPKI Tanggal 11 Juli 1945 mengharapkan adanya pengaturan pemerintahan desa yang pluriform, yakni bentuk dan nama desa yang bermacam-macam seperti, desa, marga, nagari, gampong dan lain. Konsep pluralisme pemerintahan desa ini kalau dilihat dari sisi hukum pun demikian, seperti pendapat C.F.G. Sunaryati Hartono bahwa:motto kehidupan berbangsa - Bhineka Tunggal Ika - janganlah hanya sekadar hiasan Garuda, lambang negara kita, tetapi harus mampu diimplementasikan sebagai asas hukum dalam pembangunan hukum nasional.

Lebih tegas lagi, Ateng Syafrudin berpendapat bahwa:Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.

Landasan pemikiran seperti ini harus saling kait mengkait satu sama lain, dalam arti kata tidak dapat dipisah-pisahkan. Keanekaragaman yang mendapat pe¬ngakuan, baik secara hukum, politik dan ekonomi, sesungguhnya menjadi fondasi yang kuat untuk men¬dorong partisipasi masyarakat desa dalam penyeleng¬garaan otonomi desa sebagai otonomi ash yang dimiliki oleh masyarakat desa secara partikularistik. Adanya partisipasi yang kuat dari sebagian besar masyarakat desa dalam pemerintahan dan pembangunan desa merupakan cerminan demokratisasi yang berkembang di desa.

(disadur dari buku REPUBLIK DESA)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Anda boleh menyebar luaskan atau mengcopy paste-berita, artiel, maupun tips dari "Pujapo Jaya" jika artikel, berita dan tipz-tips ini sangat bermanfaat bagi teman-teman Anda, namun jangan lupa untuk meletakkan link postingan